Tugas Analisis Program
Pengentasan Kemiskinan
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS)
SOFT SKILL
Nama
Kelompok
:1. Irvan Ramadhan (24213522)
2. Eko Wahyu (22213845)
3. Reynaldo (27213483)
4. Muhammad Sutrisna (252138783)
5. Waskito Hadi Saputro (29213234)
Kelas
: 1 EB 22
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2014
Pendahuluan
Semenjak program Askeskin
diluncurkan yang dilaksanakan oleh PT Askes Indonesia dengan dana dari APBN,
terjadi perebutan dan perdebatan tentang badan penyelenggara jaminan sosial
(BPJS). Sebagian orang di daerah yang sebelumnya mendapat dana dari Depkes
untuk mengelola jaminan kesehatan bagi penduduk miskin
tidak lagi memperoleh dana, padahal
jumlah dana program jaminan kesehatan penduduk miskin bertambah besar.
Undang-undang SJSN pun diuji materi
di Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK yang menerima sebagian (membatalkan
pasal 5 ayat 2,3, dan 4) dan menolak sebagian yaitu permohonan membatalkan pasal
52 sering diungkapkan tidak seimbang. Yang dikemukankan hanya yang diterima dan
tidak mengungkap yang ditolak. Keputusan MK sesungguhnya banyak mengubah arti
UU SJSN hanya mempertegas bahwa daeah mempunyai hak mendirikan BPJS di daerah.
Keputusan MK jelas mengharuskan apabila BPJS di daerah akan dibentuk (tidak ada
keharusan, karena sifatnya bukan amar, hanya mebolehkan), maka BPJS harus dalam
koridor UU SJSN.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang
terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:
Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan
Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional).
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep
SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan
konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra
(Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus
2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI
No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat
sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan
MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001
(Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan
Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial
Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan
terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal
dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami
perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah
terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan
dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat
itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN,
14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah
mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian
setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN
tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari
2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah
dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah
mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN
hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan
sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan
menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.Dengan
demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan
dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga
ke UU BPJS
Setelah
resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada
bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk
menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN
sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk
menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK
menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan
memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan MK semakin memperumit
penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN
yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur
dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru
terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24
September 2008.
Pembahasan
RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang
notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS
tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009
terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah
dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan.
Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua
ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun
berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan
konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS
inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan
bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru
menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan
BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro
dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya
berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian
mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang
melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak
kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya.
Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN
penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri,
dan PT Askes.
Meski
bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober
2009 dua tahun lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi
UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah
menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.
Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh
DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus badan
hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di
Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN
penyelenggara jaminan sosial.
Pasca Sah UU BPJS
Perubahan
dari 4 PT (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial
menjadi 2 BPJS sudah menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus
dilaksanakan. Perubahan yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya agar berjalan sesuai dengan ketentuan UU BPJS.Pasal 60 ayat (1)
UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU
BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada
tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan menurut Pasal 64 UU BPJS mulai
beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pada
saat mulai berlakunya UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal
yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari
Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut
mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.Mengubah struktur,
mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan
dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme
kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam
Undang-Undang.
Untuk itu diperlukan komitmen yang
kuat dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya mengemban tugas menyiapkan
perubahan tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham bagaimana caranya
mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan tersebut, dan
bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat untuk membuat perubahan
berjalan tertib efektif, efisien dan lancar sesuai dengan rencana.
Tahun
2012 merupakan tahun untuk mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU
BPJS. Perubahan yang dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan
berorientasi pada proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat
asas dan didukung oleh pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS
memberi harapan yang lebih baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang
atas jaminan sosial.
Pengertian BPJS
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun
2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan kesehatan.
Jaminan
Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.
Dasar
Hukum Mengenai BPJS
1. Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;
2. Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan;
4. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
Manfaat
Jaminan Kesehatan Nasional
Ada
2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat
non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk
pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan
oleh BPJS Kesehatan.
Paket manfaat yang diterima dalam
program JKN ini adalah komprehensive sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian
pelayanan yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi peserta.
Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan
(personal care). Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian
pelayanan:
a. Penyuluhan kesehatan
perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor
risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
b. Imunisasi dasar, meliputi
Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB),
Polio, dan Campak.
c. Keluarga berencana,
meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama
dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar
dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
d. Skrining kesehatan,
diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan
mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Meskipun
manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih ada yang
dibatasi, yaitu kaca mata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu gerak
(tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin
meliputi:
a. Tidak
sesuai prosedur
b. Pelayanan
diluar Faskes Yg bekerjasama dng BPJS
c. Pelayanan
bertujuan kosmetik
d. General
check up, pengobatan alternatif
e. Pengobatan
untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi
f. Pelayanan
Kesehatan Pada Saat Bencana
g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg
Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri Sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba
Pertanggung
Jawaban BPJS
BPJS
Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan
kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima
lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan
memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
Dalam JKN, peserta dapat meminta
manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi.
Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada
haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan,
atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan
biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut
dengan iur biaya (additional
charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.
Sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib
menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan
laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan
yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan
tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa
elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki
peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
Penutup
Kesimpulan
1.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
2.
BPJS akan membayar kepada Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan
rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA
CBG’s.
Daftar
Pustaka
Firma Aditya,Zaka.2013.UU no.24 tahun 2011 tentang
BPJS.Semarang